![]() |
courtesy www.pixabay.com |
“Aa, Abang, Kaka. Masuk kamar!” suara Ayah tegas dengan nada dan volume cukup tinggi namun bermimik wajah lembut.
Ada apa gerangan? Ayah hampir tidak pernah sekeras ini saat berbicara.
Kami bertiga
masuk ke kamar, menuruti perintah Ayah dengan kepala tertunduk. Peluh
masih membasahi sekujur punggung, kami baru pulang bermain bola di
kampung sebelah saat adzan Isya telah berkumandang. Memang kami terlalu
larut bermain.
Kamar itu
sebenarnya sebuah garasi yang disulap menjadi tempat tidur bersama dan
ruang serbaguna dengan penerangan lampu seadanya. Aa bersila diantara
aku dan Kaka yang juga ikut bersila. Kami sering disebut ‘Tiga
Serangkai’ oleh tetangga karena selalu bertiga kemana-mana. Ayah pun
bersila di hadapan kami. Wajahnya mempertontonkan kekecewaan yang
semakin membuat kami ciut.
“Kenapa pulang selarut ini?” Ayah mulai menginterogasi kami.
Aa sebagai kakak
lelaki pertama memposisikan diri sebagai juru bicara dan mulai berkilah
panjang tentang alasan kenapa pulang larut malam. Mulai dari sendal Kaka
yang hilang sebelah karena dijahili anak kampung sebelah hingga diajak
main Playstation setelah main bola oleh Dodi, tetangga sekaligus teman
karib kami bertiga.
“Sudah shalat maghrib?”
Sebuah pertanyaan
yang mencekat. Aa diam membeku. Apalagi aku, Apalagi Kaka yang paling
muda. Kami betul-betul lupa waktu saat itu. Hanya menundukkan kepala
yang bisa kami lakukan. Mungkin karena ini wajah ayah begitu kecewa.
"Bu, tolong matikan lampu”, suara Ayah lembut kepada Ibu.
Ibu yang semenjak awal ternyata mendengarkan di balik pintu
kemudian masuk dan mematikan lampu lalu duduk di samping Ayah. Kamar
seketika gelap gulita.
“Apa yang bisa kamu lihat sekarang?”
Hening.
"Semua gelap. Lihat sekeliling kamu, hanya ada hitam. Tapi
ulurkan tanganmu ke kanan dan ke kiri. Kamu akan merasakan genggaman
tangan saudaramu dan Ayah Ibu.”
Kami saling menggenggam.
“Tapi tidak lagi
saat nanti di alam kubur. Karena kamu akan sendirian dalam kegelapan.
Tidak ada saudaramu. Tidak ada Ayah Ibu. Hanya sendiri. Sendiri dalam
kegelapan dan kesunyian.”
Aku tercekat.
Semua terdiam. Genggaman tangan di kanan kiriku mengerat. Lalu terdengar
suara korek api kayu dinyalakan, sesaat tergambar wajah Ayah, Ibu, Aa,
dan Kaka akibat kilatan cahaya api pada korek yang dinyalakan Ayah.
Semua berwajah sendu. Korek itu membakar sebuah benda yang menghasilkan
bara berbau menyengat. Bau obat nyamuk.
"Siapa yang berani menyentuh bara ini?” suara Ayah masih mendominasi.
Semua diam. Masih diam.
“Ini hanya bara.
Bukan api neraka yang panasnya jutaan kali lipat api dunia. Maka
masihkah kita berani meninggalkan shalat? Shalat yang akan menyelamatkan
kita dari gelapnya alam kubur dan api neraka.”
Terdengar suara isak tangis perempuan. Itu Ibu. Genggaman kami semua semakin menguat.
"Tolong Ayah.
Tolong Ibu. Ayah Ibu akan terbakar api neraka jika membiarkan kamu lalai
dalam shalat. Aa, usiamu 14 tahun, paling dewasa di antara semua
lelaki. Abang, 12 tahun. Kaka, 10 tahun. Bahkan Rasul memerintahkan
untuk memukul jika meninggalkan shalat di usia 10 tahun. Apa Ayah perlu
memukul kamu?”
Suara isak tangis
mulai terdengar dari hidung kami bertiga. Takut. Itu yang kurasakan.
Kami semua saling mendekat. Mendekap, bukan lagi menggenggam.
“Berjanjilah
untuk tidak lagi meninggalkan shalat. Apapun keadaannya. Sekarang kita
shalat Isya berjamaah. Dan kamu bertiga mohonlah ampun kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
***
#BahasaOtak
#BahasaOrangtuaKeAnak
#BahasaOtak
#BahasaOrangtuaKeAnak
Anak anda mulai berumur 7 tahun? Belajarlah 'Tega'.
Ilustrasi di atas akan menguatkan semangat kita untuk mengikis habis yg menjadi penghambat/ujian dalam menjaga fitrah keimanannya.
#PendidikanTega
#FitrahKeimanan
#PastikanTuntasDiUmur10tahun
Ilustrasi di atas akan menguatkan semangat kita untuk mengikis habis yg menjadi penghambat/ujian dalam menjaga fitrah keimanannya.
#PendidikanTega
#FitrahKeimanan
#PastikanTuntasDiUmur10tahun
Copas dari group di wa
0 Response to "BUKAN AYAH YANG GALAK"
Posting Komentar